Social Icons

Pages

Jumat, 28 Februari 2014

Pemanfaatan Halaman Jadi Taman Rumah di Perkotaan



Tidak dapat dipungkiri lagi, suasana kota merupakan salah satu magnet bagi masyarakat desa untuk melakukan Urbanisasi atau eksodus besar-besaran untuk mendapatkan peningkatan taraf hidup mereka ke arah yang lebih baik. Harapan akan banyaknya peluang kerja di perkotaan semakin meningkat dengan banyaknya investor di berbagai bidang, baik perdagangan, manufaktur, property, dll. Akibatnya, urbanisasi tidak terelakkan lagi, bahkan semakin meningkat dari tahun ke tahun. Banyaknya pendatang di perkotaan ditambah lagi dengan meningkatnya laju pertumbuhan penduduk, menuntut ketersediaan lahan sebagai tempat pemukiman baru semakin meningkat pula, demikian juga dengan tuntutan ketersediaan lapangan pekerjaan. Akibatnya, banyak lahan-lahan produktif dan ruang terbuka hijau mengalami peralihan fungsi. Hal ini tentu saja menimbulkan dampak social yang besar, terutama bagi keseimbangan ekosistem di dalam perkotaan itu sendiri. Suhu panah yang meningkat pada musim kemarau dan banjir yang terjadi pada saat musim hujan, bahkan beberapa jam saja saat terjadi hujan dengan intensitas yang tinggi, sudah mengakibatkan jalan-jalan di perkotaan mengalami genangan air yang cukup tinggi. Saat musim kemarau melanda, tingkat suhu yang tinggi, panas dan menyegat serta debu yang beterbangan menjadikan jalan-jalan di perkotaan bagaikan kabut debu yang menimbulkan berbagai penyakit.
Perlu adanya solusi atas permasalahan tersebut. Berikut penulis akan coba uraikan tentang karakteristik perumahan di perkotaan, serta konsep pemanfaatan halaman rumah di perkotaan, sebagai salah satu solusi atas dampak ketidak seimbangan ekosistem, dampak global warming yang telah sudah sangat memprihatinkan ini :
1.      Karakteristik Perumahan Perkotaan
Masyarakat urban biasanya dicirikan dengan banyaknya tenaga kerja dengan keterbatasan skill (keterampilan) sehingga mereka menduduki strata ekonomi menengah ke bawah. Oleh karena itu, tingginya tingkat permintaan perumahan untuk kelas menengah ke bawah tidak dapat dipungkiri lagi. Pesatnya pembangunan perumahan di perkotaan dengan harga yang terjangkau oleh sebahagian besar masyarakat tersebut, menyebabkan sebahagian besar perumahan di perkotaan mempunyai beberapa karakteristik, sebagai berikut :
a.      Lahan Sempit
Pesatnya pembangunan perumahan menyebabkan harga property meningkat dengan pesat juga. Didukung dengan adanya keterbatasan lahan membuat banyak perumahan mempunyai luasan lahan yang terbatas, cenderung sempit. Biasanya luas pekarangan perumahan di perkotaan dikelompokkan menjadi 4 (empat) bagian, yaitu:
ü  Perumahan Tipe 21, dengan total luas lahan sekitar 36 m2;
ü  Perumahan Tipe 36, dengan luas lahan sekitar 72 m2;
ü  Perumahan Tipe 45, dengan luas lahan sekitar 90 m2;
ü  Perumahan Tipe 54 atau 60, dengan luas lahan sekitar 120 m2.
b.      Kurangnya Daerah Resapan
Kondisi pekarangan yang relative sempit, biasanya dimanfaatkan semuanya untuk area rumah, tanpa ada sedikit menyisakan ruang terbuka sebagai daerah resapan air. Bahkan, kalaupun ada areal pekarangan yang tidak dimanfaatkan untuk area rumah, biasanya masyarakat cenderung lebih mengutamakan untuk menutup areal tersebut dengan semen dan semen aspal, sehingga hal tersebut akan berakibat kurangnya resapan air dan dapat mengakibatkan banjir, apabila intensitas hujan cukup tinggi. Kondisi tersebut juga mengakibatkan perumahan menjadi gersang dan panas.
c.       Saluran Air Tidak Tertata Dengan Baik
Biasanya setiap perumahan dibangun parit-parit kecil sebagai aliran limbah rumah tangga. Namun biasanya parit-parit ini kurang tertata, dan tidak jelas alirannya di luar komplek perumahan, sering tidak mampu menampung air hujan, sehingga pada saat musim penghujan justru mengakibatkan luapan air dan menggenangi jalan-jalan beserta rumah-rumah yang posisinya lebih rendah atau setara dengan jalan raya.
d.      Kepadatan Penduduk yang Tinggi
Tingginya laju pertumbuhan penduduk, juga dapat tercermin dari padatnya tingkat hunian penduduk pada setiap rumah. Padatnya penghuni menyebabkan keharusan penambahan ruang, sehingga cenderung memanfaatkan lahan pekarangan yang tersisa untuk membangun tambahan ruang yang dapat dimanfaatkan oleh penghuninya sebagai tempat tinggal.
e.       Polusi Udara
Kurangnya ruang terbuka hijau dan tingginya kepemilikan kendaraan roda dua, roda empat, betor, truk dan angkot mengakibatkan tingginya polusi udara di perkotaan tidak terhindarkan lagi. Debu dan pencemaran udara melalui gas-gas yang dihasilkan akibat kendaraan semakin meningkat dari tahun ke tahun, dan hal ini dapat mengganggu kesehatan manusia dalam jangka waktu yang pendek maupun panjang.

Alternative Pemanfaatan Lahan Pekarangan
            Karakteristik perumahan di perkotaan cenderung membuat penghuninya kurang merasa nyaman. Padahal fungsi rumah adalah sebagai tempat beristirahat setelah lelah satu harian beraktifitas di luar rumah, mencari nafkah, melakukan kegiatan satu harian di rumah. Recharge (mengisi kembali) energy yang telah terkuras atau dikeluarkan selama satu harian beraktivitas merupakan fungsi rumah. Lebih lanjut, fungsi rumah adalah tempat bertemunya kembali orang tua dengan anak, istri dengan suami dan penghuni rumah lainnya, sehingga rumah itu seharusnya ditata lebih baik, lebih nyaman dan lebih sehat. Oleh karena itu diperlukan solusi agar kondisi ideal perumahan dapat tercapai dengan baik. Beberapa alternative pemanfaatan lahan pekarangan yang dapat dilakukan adalah :
1.      Penggunaan Paving Block dan Pembuatan Lubang Biopori
Penggunaan paving block membuat lahan masih mampu menyerap air dengan baik, sehingga apabila terjadi hujan dengan intensitas yang tinggi masih mampu ditampung dan diserap dengan baik. Demikian juga halnya dengan adanya lubang biopori yang merupakan teknologi tepat guna dan ramah lingkungan dalam mengatasi banjir dengan cara : meningkatkan daya resapan air, mengubah sampah organic menjadi kompos dan mengurangi emisi gas rumaah kaca, memanfaatkan peran aktivitas fauna tanah dan akar tanaman.
2.      Budidaya Tanaman
Budidaya tanaman pada lahan pekarangan, selaras dan mengacu pada program gerakan percepatan optimalisasi pekarangan melalui Model Kawasan Rumah Pangan Lestari (MKRPL) yang dicanangkan oleh Pemerintah sejak tahun 2012. Sesuai dengan kondisi lahan yang semakin sempit, maka konsep budidayanya adalah dengan cara intensifikasi lahan yang ada agar dapat dimanfaatkan lebih secara optimal. Alternative budidaya tanaman pada lahan pekarangan dapat berupa :
a.      Penanaman 1 Pohon Serbaguna per Rumah
Pohon serbaguna dimaksud adalah pohon yang mempunyai manfaat lain selain kayunya itu sendiri, misalnya bunga, buah, dll. Contoh jenis pohon serbaguna, adalah pohon buah-buahan, seperti mangga, jambu, lengkeng, dll. Selain keberadaan pohon ini yang mampu menyerap polutan (gas CO2, debu), juga dapat memberikan suasana yang sejuk, menambah kerindangan, sebagai penghasil O2, akarnya juga dapat menahan tanah pekarangan rumah dari erosi, serta buahnya juga dapat dikonsumsi sebagai penambah gizi bagi keluarga. Selain ditanam langsung di pekarangan rumah, dapat juga penanaman pohon tersebut dilakukan dengan menggunakan pot-pot yang besar.
b.       Penanaman Tanaman Hias
Tanaman hias akan menambah nilai estetika (seni) lahan pekarangan dan rumah. Pemilihan kombinasi tanaman hias dapat dilakukan dengan memperhatikan warna, habitus, juga aroma tanamannya. Dengan demikian akan terwujud taman yang mampu berfungsi sebagai tempat bercengkerama dan rekreasi bagi seluruh anggota keluarga, sehingga keakraban antara anggota keluarga dapat terjalin dengan baik, namun tidak perlu mengeluarkan biaya yang banyak. Keluarga dapat berkumpul dengan santai di depan rumah atau dipekarangan rumah yang telah dijadikan taman dan tetap menjalin keakraban di taman rumah.
c.       Penanaman Tanaman Sayur-Sayuran (Warung Hidup)
Penanaman sayur-sayuran pada lahan yang terbatas, memungkinkan untuk dilakukan, seiring dengan berkembangnya teknik dan teknologi bercocok tanam. Penanaman dapat dilakukan dengan metode vertikultur. Adanya penanaman berbagai sayuran akan dapat menambah asupan gizi bagi anggota keluarga, dan tidak tertutup kemungkinan dapat menambah penghasilan keluarga. Minimal ada cost atau pengeluaran belanja untuk sayur-mayur bisa ditabung atau dialihkan untuk membeli perlengkapan rumah tangga yang lain dengan adanya metode Penanaman Tanaman Sayur-Sayuran (Warung Hidup) ini.
d.      Penanaman Tanaman Obat Keluarga (Apotik Hidup)
Saat ini, kecenderungan untuk mengkonsumsi obat herbal semakin meningkat. Oleh karena itu, penanaman tanaman obat sangat dianjurkan untuk dilakukan. Dengan demikian, apabila ada keluhan penyakit ringan, masih dapat ditanggulangi dengan baik, sehingga menghemat biaya berobat yang saat ini sangat tidak murah. Penggunaan lahan pekarangan untuk Apotik Hidup sangatlah dianjurkan saat ini, sehingga kita mampu memperkenalkan kepada anggota keluarga akan jenis tanaman dan fungsinya bagi kesehatan kita, sehingga pengetahuan akan penggunaan obat herbal dapat terjaga dan terpelihara hingga anak cucu kita nantinya.

                        Penanaman tanaman hias, sayur-sayuran maupun tanaman obat dapat menggunakan wadah yang berasal dari limbah rumah tangga, misalnya: botol-botol bekas, bekas kemasan makanan, dll. Wadah-wadah tersebut dapat dihias, sehingga dapat menambah nilai estetika (seni). Alangkah baiknya juga apabila pengelolaan tanamannya dilakukan secara organic, artinya tidak menggunakan unsur-unsur kimia terutama untuk proses pemupukan tanaman. Pupuk dapat diperoleh dari kompos yang berasal dari lubang-lubang biopori yang telah dibuat tadi, berasal dari proses pembuatan kompos, dimana ranting-ranting, daun-daun diolah dan dijadikan kompos. Dengan demikian konsep pemanfaatan lahan pekaragan rumah secara terpadu dapat dipenuhi dengan baik.

Keuntungan Pemanfaatan Lahan Pekarangan
            Pemanfaatan lahan pekarangan secara terpadu mempunyai berbagai macam keuntungan bagi pemilik rumah, diantarannya :
1.      Terciptanya lingkungan yang asri, indah dan sehat
2.      Menambah ruang terbuka hijau
3.      Terciptanya keakraban antar anggota keluarga, karena setelah beraktivitas seharian di luar rumah, mereka dapat kembali bercengkerama dan berkumpul di rumah yang asri, indah dan sehat. Fungsi rumah sebagai tempat istirahat dan recharge energy yang terkuras dapat terpenuhi dengan baik dan dengan biaya yang murah.
4.      Mengurangi pengeluaran untuk konsumsi rumah tangga, karena sayur-sayuran telah dapat terpenuhi dari lahan pekarangan rumah. Sayur-sayuran yang dihasilkan lebih segar dan tentu saja lebih sehat karena dikelola secara organic.
5.      Menambah penghasilan keluarga, minimal ada pengeluaran yang dapat dijadikan tabungan keluarga. Pemanfaatan lahan pekarangan rumah dapat menambah penghasilan atau meminimalisir pengeluaran keluarga dengan penanaman sayur-sayuran dipekarangan rumah.
6.      Kesehatan lebih terjaga.

Kesimpulan:
            Lahan pekarangan yang sempit di perkotaan bukanlah merupakan alasan untuk tidak memanfaatkanya dengan optimal. Penanaman, baik pohon yang menghasilkan buah-buahan, tanaman hias, sayur-sayuran maupun tanaman obat dapat dilakukan dengan intensifikasi lahan dan teknik maupun teknologi bercocok tanam yang modern, seperti vertikultur. Banyak keuntungan yang diperoleh dari pemanfaatan lahan pekarangan secara optimal.








  Siswa/I sejak dini diikutsertakan dalam proses dan upaya menjaga lingkungan hip dengan cara menanam pohon bersama, sehingga tercipta suasana lingkungan kota yang masih asri dan hijau serta indah.
 
 



Contoh pemanfaatan lahan yang dipergunakan untuk membuat Apotik Hidup, dimana lahan sekolah yang masih kosong diperuntukkan untuk membuat Apotik Hidup, sehingga peserta didik masih mengenal nama tanaman yang bisa dijadikan obat.
 
 


Tim dari BLH Pusat meninjau langsung dan mendokumentasikan lahan yang telah dijadikan Apotik Hidup di pekarangan sekolah. Apotik Hidup ini berisikan lebih dari 200 jenis tanaman obat, sebagai media pembelajaran bagi siswa/I akan jenis dan fungsi tanaman obat herbal.
 
 





 
Ruang terbuka hijau, lahan didepan pekarangan warga dan sekolah yang selama ini kosong, ditanami oleh siswa/I (gambar 1) sekitar tahun 2011 kemarin, kini telah menjadi Hutan Sekolah yang menjadi unggulan dan memiliki sejuta makna.
 


Sisi lain dari Apotik Hidup, “Semua penyakit ada obatnya, Kecuali maut”, motto Apotik Hidup yang dikelola oleh sekolah.
 
 
 
Taman yang hijau dan dipenuhi bunga-bunga serta pohon-pohon yang hijau serta memberikan buah yang enak, dapat menghilangkan stress dan menyegarkan mata, otak serta pikiran kita.
 
 
 

Sumber : Tulisan bersumber dari : www.aguslab.blogspot.com
Sumber gambar : Dokumentasi Pribadi, lokasi : SMA Negeri 13 Medan.

Ruang Terbuka Hijau Sebagai Tempat Rekreasi dan Sosialisasi Masyarakat Kota



Siang itu, raungan sirene melengking menusuk pendengaran warga kota Medan. Nyala lampu merah berputar menyilaukan mata. Pengguna jalan paham bahwa akan ada arakan pejabat yang akan lewat. Pada arakan terdepan, terlihat mobil terbuka membawa sebuah piala yang tampaknya sangat-sangat dibanggakan oleh seluruh pejabat kota Medan. Piala itu bernama Piala Adipura. Dua anggota masyarakat yang berdiri di pinggir jalan saling menatap. Mereka tersenyum sinis, “Huh Adipura. Apa bukan Adi pura-pura ?”, rungut mereka. Arak-arakan berlalu. Semua kembali seperti biasanya. Masyarakat yang berjalan di trotoar harus turun ke badan jalan karena terhadang pedagang kaki lima yang terlebih dahulu menempati badan trotoar, dan di lokasi badan jalan karena terhambat oleh papan reklame. Di samping badan jalan yang mereka lalui, ada parit tergenang air karena penuh sampah dan gulma. Mereka bergegas berjalan untuk mencari tempat yang teduh, karena hanya sebahagian kecil jalan yang ada pohon pemeduhnya.
Gambaran itu bukan hanya terjadi pada satu kota saja. Kota-kota yang lain di Indonesia juga ada yang seperti itu. Warga masyarakat yang merasa kotanya belum bersih dan teduh, tetapi pemerintah kota diberi penghargaan akan mencibir dengan penerimaan penghargaan Adipura ini. Sebaliknya kota yang warganya telah turut bekerja membantu pemerintah menjadikan kota yang hijau, teduh, bersih dan perbuatan wargannya akrab dengan lingkungan yang bersih akan protes bila tidak mendapat penghargaan Adipura atau bahkan Adipura Kencana. Tentunya ada juga pemerintah kota yang sangat bernafsu memperoleh Adipura Kencana dengan berbagai cara, walau warganya tidak merasa ada perubahan kinerja pemerintah yang membuat hidup di kota mereka menjadi lebih nyaman dan pantas mendapat penghargaan seperti itu.

Sejarah Adipura
 Penghargaan Adipura bermula tahun 1986 untuk mendorong agar pelaksana pemerintahan mengelola kota menjadi bersih dan teduh. Karena masalah politis, tahun 1998 program Adipura terpaksa dihentikan. Tahun 2002, program Adipura tahap dua mulai dijalankan kembali hingga saat ini. Penilaian dilakukan berdasarkan kondisi non-fisik berdasarkan penilaian kebijakan dan fisik kota yang bersih dan hijau. Di setiap titik penilaian dinilai cara pengelolaan sampah, bersih dari sampah atau sampah bertabur dan beberapa efektif keberadaan tempah sampah. Keberadaan sampah dalam selokan atau parit juga masuk dalam kategori penilaian. Parit tergenang air karena sampah, sedimen atau gulma akan mendapat nilai rendah. Hujan turun, banjir karena parit tersumbat oleh tumpukan sampah, parit dangkal juga akan mendapat penilaian rendah. Pohon berfungsi dengan baik sebagai peneduh yang menempati lebih dari tujuh puluh lima persen wilayah, penilaian juga akan diberi dengan nilai yang tinggi. Selain peneduh, minimal tumbuhan tanaman penghijauan harus ada. Penilaian juga dilakukan terhadap efektifitas lembaga pengelola kebersihan, anggaran yang dialokasikan, fasilitas yang disediakan termasuk pengelolaan air limbah domestic. Indicator teranyar, bahkan mencakup kinerja lalu lintas, tingkat kemacetan, polusi udara yang ditimbulkan oleh kemacetan lalu lintas, pelayanan terhadap volume sampah masyarakat, ketersediaan air bersih (PAM), IPAL domestic dan juga kualitas air sungai dan udara.
Penghargaan Adipura dirancang untuk menghargai berbagai tingkat pencapaian kinerja pemerintah pengelola kota. Ada plakat Adipura, Piagam Adipura, Adipura dan pada tingkat paling bergengsi, ada Adipura Kencana. Adipura Kencana diberikan kepada kota yang mampu meningkatkan rasio RTH minimal 20%, memiliki lubang biopori dan sumur resapan serta memiliki instalasi pengolahan limbat domestic. Pemerintah pengelola kota juga harus meningkatkan penggunaan energy terbarukan serta mendapat dukungan pihak swasta.

Tujuan Utama Bukan Adipura
 Pengelola kota sebenarnya tidak pantas berpuas diri bila mendapat penghargaan Piala Adipura. Mendapatkan penghargaan Adipura justru baru merupakan pelunasan kewajiban dasar pengelola kota untuk ditunaikan kepada warganya. Peraturan menyatakan bahwa setiap warga masyarakat berhak mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat. Bersih dan teduh hanyalah sebahagian dari indicator lingkungan yang baik dan sehat. Adipura harus dimaknai sebagai kemampuan pencapaian minimal pengelola kota dalam mengelola wilayah kepemerintahannya, bukan sebagai prestasi maksimal yang pantas dibanggakan. Walikota yang tidak mampu menjadikan kotanya bersih dan hijau adalah walikota yang gagal untuk memenuhi hak azasi warganya. Pejabat pengelola kota harus tahu bahwa seandainya seluruh titik pantau dalam sebuah kota dapat dijadikan bersih dan hijau memenuhi standar baik dalam penilaian Adipura, kota tersebut belum bisa disebut kota layak huni. Masih ada criteria lain yang harus dipenuhi untuk disebut sebagai layak huni kota, yaitu: (1) memenuhi kebutuhan dasar masyarakat seperti bangunan layak huni dan layak pakai, tersedia air bersih (PAM), listrik, dll. (2) memiliki fasilitas public seperti taman, trotoar yang manusiawi, rumah ibadah, tempat parkir yang memadai dan layak, dll. (3) tersedia fasilitas pendukung sector ekonomi, social, politik, dan budaya. (4) tersedia ruang dan tempat berinteraksi dan berkembang warga masyarakat, dan (5) memenuhi syarat kenyamanan, keamanan, keindahan fisik, serta kemajuan pembangunan dan memanfaatkan teknologi yang ramah lingkungan.

Indicator Kota Adipura
Tentunya syarat kota layak huni yang sudah diakui secara global jauh di atas standar bersih dan hijaunya Adipura. Keberadaan fasilitas public seperti taman sebagai lahan terbuka ada yang seakan beban pandang dan perasaan bagi pejabat, karena menurut mereka lahan tersebut lebih bernilai bila menjadi ruko atau mall. Bahkan ada Dewan Kota bersama dengan pihak legislative serta beberapa tokoh masyarakatnya berusaha mengalihfungsikan lahan hutan kota menjadi bangunan sebagai ikon kota. Fasilitas pertemuan warga yang merupakan unsur penting bagi kestabilan social belum mampu disediakan, apalagi untuk memaksimalkan fungsinya. Padahal ruang pertemuan warga mendukung proses interaksi yang memperkuat kebersamaan dan keharmonisan warga kota. Bila pengelola ingin kotanya dinyatakan sebagai layak huni, mereka harus berusaha agar kota tersebut stabil secara social, menyiapkan fasilitas layanan kesehatan yang baik, membangun fasilitas dan pengembangan seni budaya, memenuhi syarat lingkungan yang baik, fasilitas pendidikan yang cukup, serta infrastruktur pendukung yang memenuhi kebutuhan warga.
Sebagai contoh, kota Melbourne di Australia yang dinyatakan layak huni teratas dari 140 kota-kota di dunia mampu menghidupkan dan menunjukkan keragaman budayanya, memiliki kelompok seni budaya dan menghidupkan kegiatan serta pertunjukan kesenian, menjadikan kota sebagai pusat wine dan kuliner kelas dunia, sekaligus menjadi pusat perbelanjaan dan hiburan terbaik. Walaupun penduduk muslim minoritas, namun di Melbourne terdapat restoran, kafe dan took-toko ritel yang melayani atau menjual makanan halal. Melbourne menyediakan diri sebagai tuan rumah untuk kegiatan yang menunjukkan bahwa kota mereka memiliki peradaban yang tinggi, yaitu acara kebudayaan dan olahraga paling bergengsi di dunia. Hidupnya kegiatan seni budaya itu penting bagi sebuah kota. Tanpa seni dan budaya, kita hanya sedikit diatas binatang.
Bila melihat kondisi kita saat ini, tentunya kita akan sangat bingung, dari mana kita harus memulai. Kita sudah terlanjur lama dan hidup menghuni kota yang menurut orang lain adalah kota yang tidak layak huni. Tentunya ketidak layakan ini akan mempengaruhi kejiwaan warga kota. Kita hampir kehilangan nilai-nilai Kemanusiaan, Kekeluargaan, Gotong-royong, Saling Menghargai, dan nilai-nilai luhur yang ditinggalkan oleh para pendahulu kita yang tercantum dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Kekumuhan, sampah, banjir dan paparan debu menjadi keseharian yang tidak lagi kita anggap gangguan. Kasus criminal dan gangguan keamanan yang muncul di media massa hanya kita anggap sebagai infotainment yang biasa saja. Tentu saja hal ini tidak boleh terus berlangsung. Kita mulai saja dari kota yang dianggap nyaman dihuni berdasarkan persepsi masyarakat Indonesia. Berdasarkan hasil survey Ikatan Ahli Perencana, criteria kota yang nyaman itu dinilai dari kualitas penataan ruang, jumlah ruang terbuka, kualitas angkutan umum, perlindungan bangunan sejarah, kebersihan, pencemaran, kondisi jalan, fasilitas bagi pejalan kaki, kaum lansia, orang hamil dan cacat, fasilitas kesehatan yang terjangkau dan mudah dijangkau, pendidikan yang baik, air bersih, listrik, jaringan telekomunikasi, pelayanan public, hubungan antar penduduk, dan fasilitas rekreasi. Pertumbuhan penduduk tidak dilakukan dengan mempersempit ruang terbuka hijau dan pertumbuhan ekonomi, tidak merampas ruang public, apalagi sampai menghancurkan situs-situs bersejarah. Kota ditata lebih baik, teratur, nyaman dan aman. Kota harus nyaman bagi lansia, ibu hamil, penderita cacat untuk anak-anak. Trotoar dan ruang di jalan umum maupun fasilitas public seperti mall dan rumah ibadah harus tersedia dan dapat dimanfaatkan semua orang, termasuk kaum kurang upaya. Salah satu kelemahan kota Metropolitan di Sumatera adalah ruang bermain anak hanya tersedia di mall. Kita semua tahu bahwa mall jadi pemicu syahwat konsumerisme. Ruang terbuka hijau adalah salah satu upaya untuk memupus syahwat konsumerisme. Di dalam ruangan mall, kontak manusia lebih terlihat dari perpindahan materi. Sementara dalam ruang terbuka hijau selain menerima pasokan oksigen yang sangat cukup dari alam, juga memberdayakan fungsi social, fungsi lingkungan dan fungsi keindahan. Taman kota dalam Adipura dinilai baik bila areal resapan baik, jenis dan kerapatan tumbuhan tinggi, dapat diakses masyarakat serta difasilitasi dengan kamar mandi yang baik, terawatt dan bersih. Proses interaksi manusia akan berlangsung secara alami dan lebih manusiawi bila dekat dengan alam, khususnya bagi kita yang masih bisa menikmati suasana alami dengan murah. Hal itulah yang ingin dicapai program Adipura dengan kewajiban pemerintah daerah kabupaten/kota mengelola taman dan mencukupi luasan ruang terbuka hijau.

Kebijakan Kota Dalam Negeri vs Kebijakan Kota di Luar Negeri
 Bila di belahan bumi lain masyarakatnya bekerjasama dengan pemerintah daerahnya berlomba-lomba menciptakan kota yang layak huni, kita terpaksa berhadapan dengan kenyataan bahwa warga kota menganggap kotanya tidak nyaman untuk ditempati. Dari 12 kota di Indonesia, Medan merupakan kota yang paling rendah nilai kenyamanannya. Tentu saja hal ini harus jadi pertimbangan bagi pengelola kota dan juga kota lainnya. Pemerintah pusat harus dapat memperhatikan kelemahan pemerintah kabupaten/kota. Perlu pengawasan lebih ketat. Menciptakan kota yang nyaman atau layak huni tidak cukup hanya dengan menurunkan petunjuk. Ada berbagai penyebab lemahnya visi dan pemahaman pemerintah kabupaten/kota terhadap hak warga atas kota yang nyaman dan layak huni. Kelemahan ini harus di sikapi bersama dan dijadikan pertimbangan dalam memperbaikinya. Organisasi masyarakat, partai politik, pemuka dan tokoh agama, cendikiawan, pemuda, pengusaha, dan terutama DPRD harus memberikan perhatian terhadap perkembangan dan arah pertumbuhan kota. Walaupun kita belum mampu menjadikan kota kita memenuhi persyaratan kota layak huni secara global, minimal secara bersama kita harus menjadikan seluruh kota menjadi kota nyaman untuk ditempati. Paling minimal kita jujur dalam memenuhi criteria baik untuk mendapatkan Adipura, yaitu: hijau dan bersih dan air dalam saluran drainasenya mengalir dengan lancar.

Catatan :
1.       Luas Kota Medan adalah 26.510 Ha. (dua puluh enam ribu lima ratus sepuluh)
2.      Luas Tanah Pertamanan adalah 53,49 Ha (Lima puluh tiga koma empat puluh Sembilan atau termasuk lapangan olah raga dan jalan besar. Tahun 2012 taman yang berada di bundaran segi tiga sebagian besar sudah dihilangkan dengan alasan untuk memperlancar arus lalu lintas)
3.      Pemerintah Kota Medan menganggap pohon penghijauan sama dengan pohon pelindung. Berdasarkan jenis pohon yang dilaporkan, maka yang dikategorikan pohon pelindung hanya 60% dari jumlah pohon yang ada.
4.      Bila dihitung dengan jumlah penduduk kota Medan adalah 2.117.224 jiwa, maka jumlah pohon per penduduk adalah 0,15. Sebahagian besar dari pohon yang dilaporkan adalah tanaman muda yang fungsi lindungnya masih rendah.
5.      Dari http://m.koran-sindo.com/node/337998 Dinas Pertamanan mengklaim bahwa keberadaan ruang terbuka hijau (RTH) di Kota Medan terus bertambah, dan saat ini sudah mencapai 15% dari total luas wilayah (3.976,5 Ha). Seandainya benar, maka kita pantas member penghargaan sebagai hasil kerja yang amat sangat maha luar biasa karena berhasil menambah luas RTH 3.923 Ha (7341%) itu hanya dalam jangka waktu satu tahun.

Sumber : Dinas Pertamanan Kota Medan (Landscape Service of Medan City), jayaarjuna2003@yahoo.com

 
Blogger Templates