Siang itu, raungan
sirene melengking menusuk pendengaran warga kota Medan. Nyala lampu merah
berputar menyilaukan mata. Pengguna jalan paham bahwa akan ada arakan pejabat
yang akan lewat. Pada arakan terdepan, terlihat mobil terbuka membawa sebuah
piala yang tampaknya sangat-sangat dibanggakan oleh seluruh pejabat kota Medan.
Piala itu bernama Piala Adipura. Dua anggota masyarakat yang berdiri di pinggir
jalan saling menatap. Mereka tersenyum sinis, “Huh Adipura. Apa bukan Adi
pura-pura ?”, rungut mereka. Arak-arakan berlalu. Semua kembali seperti
biasanya. Masyarakat yang berjalan di trotoar harus turun ke badan jalan karena
terhadang pedagang kaki lima yang terlebih dahulu menempati badan trotoar, dan
di lokasi badan jalan karena terhambat oleh papan reklame. Di samping badan
jalan yang mereka lalui, ada parit tergenang air karena penuh sampah dan gulma.
Mereka bergegas berjalan untuk mencari tempat yang teduh, karena hanya
sebahagian kecil jalan yang ada pohon pemeduhnya.
Gambaran itu bukan
hanya terjadi pada satu kota saja. Kota-kota yang lain di Indonesia juga ada
yang seperti itu. Warga masyarakat yang merasa kotanya belum bersih dan teduh,
tetapi pemerintah kota diberi penghargaan akan mencibir dengan penerimaan
penghargaan Adipura ini. Sebaliknya kota yang warganya telah turut bekerja
membantu pemerintah menjadikan kota yang hijau, teduh, bersih dan perbuatan
wargannya akrab dengan lingkungan yang bersih akan protes bila tidak mendapat
penghargaan Adipura atau bahkan Adipura Kencana. Tentunya ada juga pemerintah
kota yang sangat bernafsu memperoleh Adipura Kencana dengan berbagai cara,
walau warganya tidak merasa ada perubahan kinerja pemerintah yang membuat hidup
di kota mereka menjadi lebih nyaman dan pantas mendapat penghargaan seperti
itu.
Sejarah
Adipura
Penghargaan Adipura bermula tahun 1986 untuk
mendorong agar pelaksana pemerintahan mengelola kota menjadi bersih dan teduh.
Karena masalah politis, tahun 1998 program Adipura terpaksa dihentikan. Tahun
2002, program Adipura tahap dua mulai
dijalankan kembali hingga saat ini. Penilaian dilakukan berdasarkan kondisi
non-fisik berdasarkan penilaian kebijakan dan fisik kota yang bersih dan hijau.
Di setiap titik penilaian dinilai cara pengelolaan sampah, bersih dari sampah
atau sampah bertabur dan beberapa efektif keberadaan tempah sampah. Keberadaan
sampah dalam selokan atau parit juga masuk dalam kategori penilaian. Parit
tergenang air karena sampah, sedimen atau gulma akan mendapat nilai rendah.
Hujan turun, banjir karena parit tersumbat oleh tumpukan sampah, parit dangkal
juga akan mendapat penilaian rendah. Pohon berfungsi dengan baik sebagai
peneduh yang menempati lebih dari tujuh puluh lima persen wilayah, penilaian
juga akan diberi dengan nilai yang tinggi. Selain peneduh, minimal tumbuhan
tanaman penghijauan harus ada. Penilaian juga dilakukan terhadap efektifitas
lembaga pengelola kebersihan, anggaran yang dialokasikan, fasilitas yang
disediakan termasuk pengelolaan air limbah domestic. Indicator teranyar, bahkan
mencakup kinerja lalu lintas, tingkat kemacetan, polusi udara yang ditimbulkan
oleh kemacetan lalu lintas, pelayanan terhadap volume sampah masyarakat,
ketersediaan air bersih (PAM), IPAL domestic dan juga kualitas air sungai dan
udara.
Penghargaan Adipura
dirancang untuk menghargai berbagai tingkat pencapaian kinerja pemerintah
pengelola kota. Ada plakat Adipura, Piagam Adipura, Adipura dan pada tingkat
paling bergengsi, ada Adipura Kencana. Adipura Kencana diberikan kepada kota
yang mampu meningkatkan rasio RTH minimal 20%, memiliki lubang biopori dan
sumur resapan serta memiliki instalasi pengolahan limbat domestic. Pemerintah
pengelola kota juga harus meningkatkan penggunaan energy terbarukan serta
mendapat dukungan pihak swasta.
Tujuan
Utama Bukan Adipura
Pengelola kota sebenarnya tidak pantas berpuas
diri bila mendapat penghargaan Piala Adipura. Mendapatkan penghargaan Adipura
justru baru merupakan pelunasan kewajiban dasar pengelola kota untuk ditunaikan
kepada warganya. Peraturan menyatakan bahwa setiap warga masyarakat berhak
mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat. Bersih dan teduh hanyalah
sebahagian dari indicator lingkungan yang baik dan sehat. Adipura harus
dimaknai sebagai kemampuan pencapaian minimal pengelola kota dalam mengelola
wilayah kepemerintahannya, bukan sebagai prestasi maksimal yang pantas
dibanggakan. Walikota yang tidak mampu menjadikan kotanya bersih dan hijau
adalah walikota yang gagal untuk memenuhi hak azasi warganya. Pejabat pengelola
kota harus tahu bahwa seandainya seluruh titik pantau dalam sebuah kota dapat
dijadikan bersih dan hijau memenuhi standar baik dalam penilaian Adipura, kota
tersebut belum bisa disebut kota layak huni. Masih ada criteria lain yang harus
dipenuhi untuk disebut sebagai layak huni kota, yaitu: (1) memenuhi kebutuhan
dasar masyarakat seperti bangunan layak huni dan layak pakai, tersedia air
bersih (PAM), listrik, dll. (2) memiliki fasilitas public seperti taman,
trotoar yang manusiawi, rumah ibadah, tempat parkir yang memadai dan layak,
dll. (3) tersedia fasilitas pendukung sector ekonomi, social, politik, dan
budaya. (4) tersedia ruang dan tempat berinteraksi dan berkembang warga
masyarakat, dan (5) memenuhi syarat kenyamanan, keamanan, keindahan fisik,
serta kemajuan pembangunan dan memanfaatkan teknologi yang ramah lingkungan.
Indicator
Kota Adipura
Tentunya syarat kota
layak huni yang sudah diakui secara global jauh di atas standar bersih dan
hijaunya Adipura. Keberadaan fasilitas public seperti taman sebagai lahan
terbuka ada yang seakan beban pandang dan perasaan bagi pejabat, karena menurut
mereka lahan tersebut lebih bernilai bila menjadi ruko atau mall. Bahkan ada
Dewan Kota bersama dengan pihak legislative serta beberapa tokoh masyarakatnya
berusaha mengalihfungsikan lahan hutan kota menjadi bangunan sebagai ikon kota.
Fasilitas pertemuan warga yang merupakan unsur penting bagi kestabilan social
belum mampu disediakan, apalagi untuk memaksimalkan fungsinya. Padahal ruang
pertemuan warga mendukung proses interaksi yang memperkuat kebersamaan dan
keharmonisan warga kota. Bila pengelola ingin kotanya dinyatakan sebagai layak
huni, mereka harus berusaha agar kota tersebut stabil secara social, menyiapkan
fasilitas layanan kesehatan yang baik, membangun fasilitas dan pengembangan
seni budaya, memenuhi syarat lingkungan yang baik, fasilitas pendidikan yang
cukup, serta infrastruktur pendukung yang memenuhi kebutuhan warga.
Sebagai contoh, kota
Melbourne di Australia yang dinyatakan layak huni teratas dari 140 kota-kota di
dunia mampu menghidupkan dan menunjukkan keragaman budayanya, memiliki kelompok
seni budaya dan menghidupkan kegiatan serta pertunjukan kesenian, menjadikan
kota sebagai pusat wine dan kuliner
kelas dunia, sekaligus menjadi pusat perbelanjaan dan hiburan terbaik. Walaupun
penduduk muslim minoritas, namun di Melbourne terdapat restoran, kafe dan
took-toko ritel yang melayani atau menjual makanan halal. Melbourne menyediakan
diri sebagai tuan rumah untuk kegiatan yang menunjukkan bahwa kota mereka
memiliki peradaban yang tinggi, yaitu acara kebudayaan dan olahraga paling
bergengsi di dunia. Hidupnya kegiatan seni budaya itu penting bagi sebuah kota.
Tanpa seni dan budaya, kita hanya sedikit diatas binatang.
Bila melihat kondisi
kita saat ini, tentunya kita akan sangat bingung, dari mana kita harus memulai.
Kita sudah terlanjur lama dan hidup menghuni kota yang menurut orang lain
adalah kota yang tidak layak huni. Tentunya ketidak layakan ini akan
mempengaruhi kejiwaan warga kota. Kita hampir kehilangan nilai-nilai
Kemanusiaan, Kekeluargaan, Gotong-royong, Saling Menghargai, dan nilai-nilai
luhur yang ditinggalkan oleh para pendahulu kita yang tercantum dalam Pancasila
dan Undang-Undang Dasar 1945. Kekumuhan, sampah, banjir dan paparan debu
menjadi keseharian yang tidak lagi kita anggap gangguan. Kasus criminal dan
gangguan keamanan yang muncul di media massa hanya kita anggap sebagai
infotainment yang biasa saja. Tentu saja hal ini tidak boleh terus berlangsung.
Kita mulai saja dari kota yang dianggap nyaman dihuni berdasarkan persepsi
masyarakat Indonesia. Berdasarkan hasil survey Ikatan Ahli Perencana, criteria
kota yang nyaman itu dinilai dari kualitas penataan ruang, jumlah ruang
terbuka, kualitas angkutan umum, perlindungan bangunan sejarah, kebersihan,
pencemaran, kondisi jalan, fasilitas bagi pejalan kaki, kaum lansia, orang
hamil dan cacat, fasilitas kesehatan yang terjangkau dan mudah dijangkau,
pendidikan yang baik, air bersih, listrik, jaringan telekomunikasi, pelayanan
public, hubungan antar penduduk, dan fasilitas rekreasi. Pertumbuhan penduduk
tidak dilakukan dengan mempersempit ruang terbuka hijau dan pertumbuhan
ekonomi, tidak merampas ruang public, apalagi sampai menghancurkan situs-situs
bersejarah. Kota ditata lebih baik, teratur, nyaman dan aman. Kota harus nyaman
bagi lansia, ibu hamil, penderita cacat untuk anak-anak. Trotoar dan ruang di
jalan umum maupun fasilitas public seperti mall dan rumah ibadah harus tersedia
dan dapat dimanfaatkan semua orang, termasuk kaum kurang upaya. Salah satu
kelemahan kota Metropolitan di Sumatera adalah ruang bermain anak hanya
tersedia di mall. Kita semua tahu bahwa mall jadi pemicu syahwat konsumerisme.
Ruang terbuka hijau adalah salah satu upaya untuk memupus syahwat konsumerisme.
Di dalam ruangan mall, kontak manusia lebih terlihat dari perpindahan materi.
Sementara dalam ruang terbuka hijau selain menerima pasokan oksigen yang sangat
cukup dari alam, juga memberdayakan fungsi social, fungsi lingkungan dan fungsi
keindahan. Taman kota dalam Adipura dinilai baik bila areal resapan baik, jenis
dan kerapatan tumbuhan tinggi, dapat diakses masyarakat serta difasilitasi
dengan kamar mandi yang baik, terawatt dan bersih. Proses interaksi manusia
akan berlangsung secara alami dan lebih manusiawi bila dekat dengan alam,
khususnya bagi kita yang masih bisa menikmati suasana alami dengan murah. Hal
itulah yang ingin dicapai program Adipura dengan kewajiban pemerintah daerah
kabupaten/kota mengelola taman dan mencukupi luasan ruang terbuka hijau.
Kebijakan
Kota Dalam Negeri vs Kebijakan Kota di Luar Negeri
Bila di belahan bumi lain masyarakatnya
bekerjasama dengan pemerintah daerahnya berlomba-lomba menciptakan kota yang
layak huni, kita terpaksa berhadapan dengan kenyataan bahwa warga kota
menganggap kotanya tidak nyaman untuk ditempati. Dari 12 kota di Indonesia,
Medan merupakan kota yang paling rendah nilai kenyamanannya. Tentu saja hal ini
harus jadi pertimbangan bagi pengelola kota dan juga kota lainnya. Pemerintah pusat
harus dapat memperhatikan kelemahan pemerintah kabupaten/kota. Perlu pengawasan
lebih ketat. Menciptakan kota yang nyaman atau layak huni tidak cukup hanya
dengan menurunkan petunjuk. Ada berbagai penyebab lemahnya visi dan pemahaman
pemerintah kabupaten/kota terhadap hak warga atas kota yang nyaman dan layak
huni. Kelemahan ini harus di sikapi bersama dan dijadikan pertimbangan dalam
memperbaikinya. Organisasi masyarakat, partai politik, pemuka dan tokoh agama,
cendikiawan, pemuda, pengusaha, dan terutama DPRD harus memberikan perhatian
terhadap perkembangan dan arah pertumbuhan kota. Walaupun kita belum mampu
menjadikan kota kita memenuhi persyaratan kota layak huni secara global,
minimal secara bersama kita harus menjadikan seluruh kota menjadi kota nyaman
untuk ditempati. Paling minimal kita jujur dalam memenuhi criteria baik untuk
mendapatkan Adipura, yaitu: hijau dan bersih dan air dalam saluran drainasenya
mengalir dengan lancar.
Catatan
:
1.
Luas
Kota Medan adalah 26.510 Ha. (dua puluh enam ribu lima ratus sepuluh)
2.
Luas Tanah Pertamanan adalah 53,49
Ha (Lima puluh tiga koma empat puluh Sembilan atau termasuk lapangan
olah raga dan jalan besar. Tahun 2012 taman yang berada di bundaran segi tiga
sebagian besar sudah dihilangkan dengan alasan untuk memperlancar arus lalu
lintas)
3.
Pemerintah Kota Medan menganggap pohon
penghijauan sama dengan pohon pelindung. Berdasarkan jenis pohon yang
dilaporkan, maka yang dikategorikan pohon pelindung hanya 60% dari jumlah pohon
yang ada.
4.
Bila dihitung dengan jumlah penduduk
kota Medan adalah 2.117.224 jiwa, maka jumlah pohon per penduduk adalah 0,15.
Sebahagian besar dari pohon yang dilaporkan adalah tanaman muda yang fungsi
lindungnya masih rendah.
5.
Dari http://m.koran-sindo.com/node/337998
Dinas Pertamanan mengklaim bahwa keberadaan ruang terbuka hijau (RTH) di Kota
Medan terus bertambah, dan saat ini sudah mencapai 15% dari total luas wilayah
(3.976,5 Ha). Seandainya benar, maka kita pantas member penghargaan sebagai
hasil kerja yang amat sangat maha luar biasa karena berhasil menambah luas RTH
3.923 Ha (7341%) itu hanya dalam jangka waktu satu tahun.
Sumber : Dinas Pertamanan Kota
Medan (Landscape Service of Medan City), jayaarjuna2003@yahoo.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar